Gemuruh percakapan akademik terdengar dari berbagai sudut ruang konferensi Hotel Novotel, Bandar Lampung. Suasana intelektual yang penuh energi itu menandai penyelenggaraan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Aptikom 2025, yang berlangsung pada 9–11 Oktober 2025, mengusung tema besar: “Building a Resilient IT Workforce: AI-Driven Cybersecurity for National and Global Challenges.”
Acara ini dihadiri 990 peserta yang terdiri atas delegasi Rakornas, presenter International Conference on Informatics and Computing (ICIC), serta presenter Semnastik. Momentum tersebut menjadi ajang refleksi nasional bagi para pendidik, peneliti, dan praktisi teknologi informasi dari seluruh Indonesia. Di tengah derasnya arus transformasi digital global, Aptikom (Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komputer Indonesia) menegaskan kembali peran strategis universitas dalam membangun sumber daya manusia IT yang tangguh, cerdas, beretika, dan berdaya saing internasional.
Revolusi Siber dan Paradoks AI
Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) kini menjadi pusat gravitasi baru dalam arsitektur dunia digital. AI bukan lagi sekadar sekumpulan algoritma pemrosesan data, melainkan sistem pembelajaran otonom yang mampu mengenali pola serangan siber, memprediksi ancaman, dan bahkan mengeksekusi respons otomatis terhadap potensi kebocoran data. Namun paradoksnya, AI juga dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan digital untuk menciptakan serangan yang lebih halus, adaptif, dan sulit dideteksi. AI menjadi pedang bermata dua dalam lanskap keamanan siber kontemporer.
Menurut ISC2 Cybersecurity Workforce Study 2024, sekitar 90 persen organisasi global mengaku kekurangan tenaga kerja dengan kompetensi keamanan siber berbasis AI, dan lebih dari tiga juta posisi di bidang ini masih belum terisi. Data dari CSO Online menunjukkan bahwa 10 persen lowongan kerja keamanan siber kini mensyaratkan kemampuan AI, naik signifikan dari 6,5 persen dua tahun sebelumnya. Angka ini mengindikasikan bahwa penguasaan AI telah menjadi kompetensi inti (core skill) dalam industri keamanan digital global.
Namun, di balik peluang besar tersebut, tersimpan tantangan psikologis dan sosial. Survei terhadap profesional keamanan siber mengungkap bahwa 44 persen mengalami tekanan mental berat, sementara 66 persen menyebut bidang ini sebagai pekerjaan paling menegangkan di sektor TI. Artinya, ketangguhan SDM (resilient IT workforce) bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi juga menyangkut daya tahan mental, kecerdasan kolaboratif, dan etika digital yang kuat.
Resilience Digital
Istilah “resilient” dalam tema Rakornas Aptikom 2025 mencerminkan pergeseran paradigma bahwa manusia tetap menjadi titik sentral sistem keamanan apa pun. Di tengah penetrasi AI yang masif, manusia harus menjadi pemimpin teknologi, bukan korban otomatisasi.
SDM tangguh bukan berarti kebal dari serangan, melainkan mampu bangkit cepat, beradaptasi, dan belajar dari setiap insiden. Dalam konteks Indonesia, ketangguhan ini harus berpijak pada etika kebangsaan dan nilai religiusitas. AI bukan alat dominasi, melainkan sarana pengabdian bagi keamanan nasional dan kemaslahatan publik.
Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Richardus Eko Indrajit, M.Sc., M.B.A., M.Phil., M.A., salah satu tokoh pendidikan dan keamanan digital Indonesia, “AI tidak dapat berdiri sendiri sebagai solusi. Diperlukan AI literate human capital yang memahami konteks sosial, politik, dan etika di balik penggunaan algoritma. Kita memerlukan manusia yang tidak hanya mahir memprogram mesin, tetapi juga mampu memimpin arah peradaban digital.”
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa AI tidak menggantikan manusia, melainkan memperluas kapasitas kemanusiaan dalam menghadapi kompleksitas dunia digital.
Kolaborasi AI-Driven Cybersecurity
Konsep AI-Driven Cybersecurity merujuk pada integrasi teknologi machine learning, deep learning, dan analitik prediktif untuk mendeteksi, merespons, dan mencegah ancaman siber secara real time. AI mampu menganalisis pola anomali dalam lalu lintas data jauh lebih cepat dan akurat dibanding manusia.
Namun, sebagaimana diingatkan oleh Dr. Kavita Ganesan, ilmuwan AI internasional, bahwa “Dalam ekosistem keamanan masa depan, AI bukan sekadar alat analisis, melainkan mitra aktif dalam pertahanan. Tetapi tanpa pengawasan manusia, AI dapat bias, salah deteksi, bahkan dieksploitasi balik.”
Karena itu, pendidikan tinggi memegang peran kunci dalam melahirkan profesional yang tidak hanya mampu menggunakan AI, tetapi juga merancang, mengaudit, dan mengawasi sistem AI secara etis.
Ketahanan Digital
Universitas merupakan pusat ketahanan digital bangsa. Di sinilah relevansi strategis Aptikom teruji, yakni dalam rangka membangun ekosistem pendidikan AI yang resilien dan berintegritas. Perguruan tinggi tidak cukup menjadi tempat belajar teori, tetapi harus menjadi arena riset, inovasi, dan pembentukan karakter digital bangsa.
Beberapa peran kampus yang diharapkan, yaitu, pertama, sebagai Pusat Riset dan Inovasi Lokal.
Laboratorium kampus perlu mengembangkan model deteksi intrusi berbasis AI yang relevan dengan konteks serangan di Indonesia. Kolaborasi dengan industri dan pemerintah penting agar riset tidak berhenti di jurnal, tetapi menjadi solusi nyata bagi keamanan nasional.
Kedua, Kurikulum Integratif AI-Cybersecurity-Etika Digital.
Pembelajaran tentang AI harus mencakup Explainable AI (XAI)–yakni kemampuan menjelaskan keputusan algoritmik secara transparan, etis, dan akuntabel.
Ketiga, Kampus sebagai Jembatan Industri. Melalui inkubasi startup keamanan siber, kompetisi Cyber Defense Hackathon, dan kemitraan lintas lembaga, mahasiswa dapat menghadapi ancaman nyata sembari menumbuhkan semangat inovasi.
Pandangan ini sejalan dengan pernyataan Dr. Hanna Kurniawati, peneliti AI asal Indonesia yang berkiprah di luar negeri, bahwa, “Universitas di Indonesia memiliki peran strategis dalam membangun kedaulatan digital. Dengan riset AI yang kontekstual dan berbasis kebutuhan lokal, bangsa ini dapat menjaga pertahanan sibernya tanpa sepenuhnya bergantung pada teknologi asing.”
Kedaulatan Digital Bangsa
Keamanan siber hari ini bukan sekadar isu teknis, melainkan isu kedaulatan nasional. Data adalah sumber daya baru, dan AI adalah alat pengelolaannya. Negara yang gagal menguasai AI berisiko kehilangan kendali atas informasi, ekonomi, dan keamanan nasional.
Beberapa negara telah mengambil langkah besar, antara lain Uni Eropa mengesahkan AI Act untuk menjamin penggunaan AI yang aman dan etis.
Amerika Serikat meluncurkan National Cyber Workforce Strategy. Adapun Tiongkok berinvestasi besar dalam integrasi AI dengan sistem keamanan nasionalnya.
Indonesia tidak boleh tertinggal. Dan inisiatif Aptikom 2025 di Bandar Lampung menjadi bagian penting dari strategi nasional membangun kedaulatan digital.
Kolaborasi Akademik
Rakornas Aptikom 2025 menghadirkan berbagai narasumber terkemuka di bidang informartika, antara lain Dr. rer. nat. I Made Wiryana, S.Kom., S.Si., MappSc; Prof. Zainal A. Hasibuan, Ph.D, dan Prof. Dr. Ir. Richardus Eko Indrajit, M.Sc., M.B.A., M.Phil., M.A.
dengan moderator Ketua Aptikom, Prof. Dr. rer. nat. Achmad Benny Mutiara, S.Si., S.Kom.
Forum tiga hari ini bukan sekadar pertemuan rutin, melainkan momentum konsolidasi pengetahuan, kolaborasi, dan komitmen nasional. Dari sesi klinik, hingga diskusi panel, para akademisi membahas OBE, PIKOBE, SKKNI, cybersecurity, ethical hacking, keamanan data publik, publikasi internasional, Talenta AI, buku ajar, hingga literasi digital masyarakat serta diskusi tantangan dan peluang menghadirkan kurikulum yang adaptif dan inovatif.
Di sinilah Aptikom memainkan peran strategis sebagai jejaring akademik terbesar di bidang ilmu komputer di Indonesia. Dengan ribuan dosen dan peneliti di seluruh tanah air, Aptikom menjadi tulang punggung perubahan menuju ekosistem digital yang berdaulat dan beretika.
Kecerdasan Nurani
Rakornas Aptikom 2025 mencerminkan kesadaran baru dunia akademik Indonesia bahwa masa depan digital tidak akan menunggu kesiapan kita. AI telah mengubah cara manusia bekerja, berpikir, dan berinteraksi dalam ruang siber. Namun, di balik algoritma yang kian cerdas, manusia tetap menjadi pusat semesta digital.
Membangun resilient IT workforce berarti membangun manusia yang berpikir kritis, beretika, dan berdaya cipta.
Itulah makna terdalam dari AI-Driven Cybersecurity– bukan semata sistem keamanan berbasis mesin, tetapi sintesis antara kecerdasan buatan dan kecerdasan nurani.
Dan dari universitas, melalui Aptikom dan seluruh jaringannya, kita meneguhkan arah bahwa masa depan digital Indonesia harus berdiri di atas fondasi ilmu, iman, dan kemandirian teknologi.***
Khodijah Hulliyah (Direktur Artificial Intelligence Literacy and Innovation Institute, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)